Album Review: Membingkai Hal Traumatis dengan Irama Puitis



Mendengarkan album Melancolic Bitch terbaru yang berjudul NKKBS adalah bukan tentang teknis bermain musik belaka. Mereka telah selesai dengan urusan teknis musik. Berbicara tentang Melancolic Bitch (MELBI) adalah berbicara tentang naskah dalam fragmen cerita yang diurai demikian kompleks, dengan penuturan yang seperti konspirasi dialog dalam peranan sebuah layar lebar theater of mind. Mereka memfasilitasi tiap-tiap pemikiran liar banyak orang yang terkadang sungkan diungkapkan, karena kadung terlahir dalam budaya ketimuran, yang tabu mengangkat hal personal yang sensitif ke permukaan. NKKBS adalah proyek musik MELBI yang dibagi dalam dua bagian, dan inilah bagian pertamanya.

Jika saja mereka merilis album ini pada era orde baru, maka bukan saja album ini menjadi hal yang tabu, tapi juga cari mati. Mereka mengangkat kepingan ingatan mereka ketika era asal “bapak” senang dengan semua doktrin dan panduan satu arah, yang tentunya tidak bisa dibantah. Salah satu produk era itu adalah program Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera, yang secara teoritis, sang “bapak” ingin membatasi keluarga Indonesia hanya dengan dua anak, yang pada tahun 1992, program ini dikodekan menjadi undang-undang. Semangat keluarga kecilnya setara dengan kemakmuran yang terjamin, dan menjadi merek dagang rezim saat itu.

Ingatan yang melekat ketika mereka masih kecil tentang doktrin program-program rezim saat itu, dinyanyikan sang vokalis Ugoran "Ugo" Prasad lewat istilah hantu-hantu masa kecil, di lagu pembuka album ini, “Normal, Moral”. Tentang program undang-undang dua anak cukup mereka gambarkan lewat lirik guru pendidikan moral pancasila, yang di dalam lagu itu dikisahkan jadi satu sosok yang mengawasi pergumulan sepasang suami istri di ranjang pengantin mereka. Dia menjadi satu sosok yang tidak senang ketika sang istri tidak lagi menjadi perawan. Beberapa detik menuju durasi tiga menit lagu ini, tersibak alasan sang guru bertingkah seperti itu, yaitu karena kisahnya yang mati bunuh diri setelah hutang menggunung karena kalah judi. Sederhananya, sang guru adalah “bapak” yang kebingungan dengan hasrat sepasang suami istri tadi yang berpotensi melahirkan anak, dan tentunya akan membebani sang “bapak”, karena nyatanya keuangannya tidak lagi stabil oleh hutang yang menggunung.

Kompleksitas kepingan cerita album ini kemudian diperkuat di lagu kelima berjudul “Dapur, NKK/BKK”. Selama empat menit tiga puluh enam detik, Ugo menangkap bingkai suram kegagalan program rezim tersebut lewat penggambaran lirik di dapur ibu berubah kupu-kupu melahirkan adik yang prematur, lalu adik dimakan anjing. Potret suram tadi diteruskan dengan kompleksitas perangkat negara yang berubah haluan dengan penggambaran kota dikepung tentara. Ada semacam nuansa kekacauan akan stabilitas negara di ujung rezim yang chaos. Kegagalan program yang tidak cukup jadi jawaban akan iming-iming kemakmuran yang terjamin. Karena nyatanya, itu hanya citra yang dipoles sedemikian rupa jadi gambar tanpa makna.

Di lagu selanjutnya yang berjudul “Bioskop, Pisau Lipat”, MELBI dengan terang benderang berkisah tentang layar lebar ruang imajiner masa kecil mereka. Lewat lirik kursi bioskop yang penuh kutu, naik ke dalam saku, lalu menyelinap ke buku-buku. Buku disini perlu diberi tanda kutip sebagai penggambaran dari tulisan sejarah palsu yang dijadikan naskah film layar lebar dalam ruang imajiner masa kecil MELBI yang menyerupai “hantu”. Lalu, ada juga metafora bendera merah putih sebagai seragam adalah bentuk doktrin nasionalisme berupa atribut nir makna. Doktrin ini makin diperjelas dengan penambahan lirik digiring ke bioskop jam sembilan menyaksikan darah merah yang terpancar ke layar lebar.

Lagu ke delapan di album ini yang berjudul “Trauma, Irama”. Lagu ini memiliki padanan kata yang mewakili album, bahkan ketika kita belum mendengarkan lagunya sekalipun. Cerita-cerita traumatis yang melekat ditiap-tiap pikiran Ugo (vokal), Yossy Herman Susilo (gitar), Richardus Arditya (bass), Nadya Hatta (keyboard), Yennu Ariendra (gitar / synth) dan Wisnu Nugraha asal Denmark (drum), yang tumbuh dipelihara oleh rezim, mengubahnya menjadi pengalaman hidup, pengamatan yang teringat, dan diaplikasikan lewat irama lagu.

Sampai akhirnya, album ini ditutup oleh “Lagu untuk Resepsi Pernikahan”, yang seperti sebuah lagu penolakan manis akan program rezim tersebut. MELBI seolah bilang jika berbahagialah dengan cinta yang lahir lembut dari lidah puisi. Sehingga, kering dan kemarau adalah goresan masa lalu yang harus dikubur. Rezim itu telah berakhir, meskipun kemungkinannya bisa saja kembali. Tapi, sekarang di hari pernikahan kita, kita tumpahkan segala hasrat kita sampai suatu hari kita menemukan diri kita dalam bentuk mini yang kita panggil “nak”. Berapapun, tidak harus dua. Rezim itu telah usai, dan program itu telah usang, sayang

Komentar

Postingan Populer