Featured : Tigapagi dan Nyanyian Persinggahan Mimpi

Tigapagi, sebuah kelompok musik dengan misi membawa nada eksotis pentatonis yang menyapa akrab solmisasi diatonis, pada padu padan lirik yang membawa kita pada renungan panjang, ketika pagi, baru terbangun dari mimpi. Perkenalan saya dengan kelompok musik ini ada di antara persinggahan mimpi, dan carut marut suasana pagi yang sibuk, dengan keharusan bekerja seperti orang kebanyakan.

Lewat lagu mereka yang berjudul "Tangan Hampa Kaki Telanjang", lamunan saya terbawa ketika berada di atas motor yang saya pacu dengan kecepatan paling minimal. Berada di lajur kiri jalan, dengan banyak pemikiran kala mencerna lirik yang mereka nyanyikan. Ada semacam kegelisahan yang semoga tetap terpelihara bersamaan dengan akal sehat, tentunya. Jangan dibarengi serupa bipolar pada pikiran yang memudar, terpenjara dogma atau malah sebaliknya, karena orang memang harus berpikir untuk bisa selaras dengan rima.

Ada dalam persinggahan menuju ruang sebenar-benarnya ruang tanpa perdebatan, sehingga tentang alibi pembenaran diri sendiri terasa dangkal. Karena, apa yang bisa disangkal dari kematian? Jika saja tidak terlahir dengan pertanyaan akan kemana. Untuk satu kehidupan yang pasti berhadapan dengan kematian, maka apa hebatnya dunia? Sebuah persinggahan sementara, yang mungkin saya berharap lebih tentangnya. Tapi, namanya juga manusia. Kalau tidak terasing dalam paham sinis seorang yang logis, ya berarti konsekuensi hati yang teriris. Karena, konteksnya sendiri miris dengan ilusi yang teriritasi oleh gambar kenangan tentang senyum, yang sebenarnya mungkin saja itu palsu.

Saya pernah berujar kepada seorang kawan, jika kehidupan setelah kehidupan di dunia akan menyenangkan. Karena, semuanya sudah berakhir dengan ditandai kehidupan baru nan abadi, yang semoga saja Surga itu memang ada, dan saya berada di dalamnya. Semuanya ada disana, semua yang saya minta akan tersedia. Tapi lalu kawan saya berujar, kalau semua yang kita inginkan begitu mudah kita dapatkan, maka apa menariknya? Kehidupan yang abadi dengan semua kesenangan itu akan membosankan menurutnya.

Akhir cerita adalah hal paling tidak menarik dari sebuah tulisan. Baik dalam film, sebuah lagu, atau sebuah buku. Setelah berakhir dengan titik di halaman terakhir sebuah buku, maka apa setelah itu? Pernah nonton Titanic? Hal paling tidak menarik di film itu adalah adegan terakhirnya. Dari awal kita tahu jika kapalnya akan karam. Namun, karena apa dan mengapa kapalnya bisa karam, itu yang membuat film ini jadi menarik. Begitu pula yang saya tangkap dari lagu ini. Seperti yang kita semua tahu, jika dari awal saya hidup adalah untuk mati. Tapi karena apa dan mengapa saya bisa mati, itu yang membuat cerita ini bisa saya tulis. Atau benar kata Soe Hok Gie, ketika dia berujar jika nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan. Makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada.

Jika saja bisa lebih dari sekedar asumsi, atau tidak sekedar jadi selayang menerawang jalan yang harus saya tapaki, semoga saya benar-benar berjalan dengan kerikil yang saya injak dengan kaki telanjang. Menggenggam pasir yang berjatuhan di antara celah tangan. Dan mungkin benar, jika saya masih tertidur dengan mimpi yang masih saja sama. Sampai besok paginya, saya terbangun hanya untuk mengiyakan apa yang kelompok musik Tigapagi nyanyikan.

Komentar

Postingan Populer