Interview : Seni Kontemporer Pop Sunda Olahan Swasembada Meong


Jika harus ada pertanyaan tentang apakah keindahan itu punya arti terlalu indah? Maka, apakah ketuhanan itu punya arti terlalu Tuhan? Sampai pada akhirnya, ini menjadikan sebagai barisan kata yang “berantakan”, dan mematahkan struktur berbahasa yang telah diatur dalam kamus besar Bahasa Indonesia. Tapi, kata itu sendiri akhirnya tergantung pada yang memaknainya. Tidak berarti hitam adalah hitam, gelap adalah gelap. Pun begitu dengan estetika atau keindahan yang bisa dibentuk oleh sudut pandang siapapun yang menilainya.

Hal inilah yang ditangkap sang seniman kontemporer, Amenkcoy, yang kita kenal dengan image serampangannya. Dia menginterpretasikan tentang hal yang “berantakan” tadi dengan bunyi dan keindahan. Ketika nama lain dari bunyi dan keindahan adalah musik, maka musik adalah keteraturan bunyi, ketika nada dan irama dalam ritmis bersatu dalam harmoni yang selaras. Tapi, apakah ketika itu menjadi sebuah karya yang "campur aduk”, lewat apa yang Amenk namakan kolase kata-kata dalam balutan musik pop Sunda hasil eksperimental Amenk ini, nilai estetikanya masih ada?

Simak hasil wawancara saya dengan Mufty Priyanka, atau dikenal dengan nama Amenkcoy yang menjadi bandar nada mafia musik di projek album ini.

Bagaimana mulanya bisa tercetus ide membuat projek “Swasembada Meong" itu? Mengapa memilih diksi “meong” sebagai padanan kata dari projek musik Amenkcoy ini?

Awalnya itu tahun 2011. Iseng aja tadinya, buat menghibur pacar saya yang susah tidur. Saya bersenandung, direkam, dan dikirim ke pacar saya, dengan harapan dia bisa tidur dengan senandung random yang saya nyanyikan. Tapi, yang terjadi dia bukannya tidur, tapi malah ketawa-ketawa. Nah, dari kejadian itu beberapa teman saya ada yang mendengar nyanyian random itu, termasuk salah satu personil A Stone A, si Gedang, yang merespon nyanyian itu dengan menambahkan instrumen musik keyboard pada lagunya. Hasilnya bagus, dan saya kepikiran untuk bikin akun Soundcloud untuk memasukan beberapa karya lagu iseng saya tadi. Karena awalnya lagu itu didedikasikan untuk pacar saya dulu, tercetuslah nama "Swasembada Meong", yang menurut saya pribadi punya artian sebuah romansa di hubungan saya dengan dia dulu. "Meong" tuh punya konotasi “manja”, untuk saya pribadi.

Kenapa namanya "Swasembada meong"? Karena, saya senang membenturkan dua padanan kata yang tidak sinkron, antara baku dan tidak baku. Karena, ketika itu dibenturkan akhirnya jadi punya persepsi yang tidak establish lagi, malah jadi ada sisi artistik nya. Saya senang merombak ataupun merekontruksi padanan-padanan struktur dalam berbahasa. Jadi, ketika itu dirangkai secara campur aduk dan random, selain dibaca jadi artistik menurut saya, kalaupun diartikan juga jadi melahirkan tafsir yang baru juga. Makanya, ada istilah kolase kata-kata menurut pakem saya, dan hal ini juga diterapkan ke dalam grup musik saya, Pemandangan. Pada proses kreatifnya, selalu ekspresif dan spontan. Getting high dulu, bikin nada, aransemen musik, dan mulai memasukan lirik lagu hasil kolase kata-kata tadi. Darisana, daya intuitif saya terangsang untuk bernyanyi, mengikuti lirik lagu hasil olahan kolase kata-kata tadi. 

Darimana awalnya ide lagu “Ulah Baong” itu muncul? Karena ini menjadi menarik, dan seperti kontras dengan karya-karya Amenk yang dikenal “baong” (nakal) jika dilihat dari estetika karyanya selama ini.

Pertama, pemilihan judul lagu “Ulah Baong” sendiri terjadi di last minute sebelum album itu dirilis. Jadi, mungkin ada ketegangan, dan rasa hectic yang mendorong alam bawah sadar saya untuk mencetuskan judul lagu itu. Yang kedua, “Ulah Baong” itu saya menganalogikan dengan keseharian saya sendiri, dengan fenomena banyaknya teman-teman saya yang “hijrah”, “become to good life” lah istilahnya, dan jadi fenomena yang spesifik menurut saya. Ini jadi sesuatu yang kontradiktif dengan saya pribadi.

Kemudian, itu jadi salah satu “pemberontakan” saya, ketika saya melihat fenomena seperti itu, untuk kemudian saya implementasikan dalam gimmick judul lagu “Ulah Baong”. Jadi, seperti memberi wejangan, tapi ini juga jadi sesuatu yang kontras dengan saya, karena saya sendiri kan baong (nakal dalam Bahasa Sunda), baik itu secara karya ataupun keseharian. Mungkin juga itu udah jadi kebiasaan saya, senang dengan padanan kata yang establish dan tidak establish. Diiringkan dalam satu jalur, yang menurut saya itu malah jadi artistik.

Mekanisme proses kreatifnya sendiri masih dengan jamming, yang dalam hal ini juga melibatkan teman saya dari Pemandangan, si Maung, dalam mengembangkan lirik lagunya, sampai hal teknis tentang penulisan lirik yang harus ber-rima. Karena, karakter pop sunda sendiri kan seperti itu.

Kenapa memilih Bahasa Sunda untuk proyek album ini? Apa karena alasan historis kah? Atau ada misi budaya kah? Atau memang secara estetika penggunaan bahasa sunda ini menarik?

Mungkin, karena keseharian saya juga bisa dibilang hampir 85% aktif menggunakan Bahasa Sunda, atau konteks lainnya sebenarnya saya bicara tentang posisi dimana Bahasa Sunda hari ini yang sudah mulai ditinggalkan. Mungkin, secara prakteknya masih dipakai oleh generasi muda, tapi secara literasi atau kebudayaan dan keseniannya lah yang terdekat, notice gak sih anak muda tuh. Ternyata, masih banyak pertanyaan juga, bahwa anak muda sekarang itu seperti sungkan atau nggak gaul lah memakai Bahasa Sunda yang baik dan benar.

Mungkin, adanya cross culture juga dari pendatang yang masuk ke Bandung, dan mereduksi patern-patern kebudayaan disini. Saya merasakan beberapa nilai yang bergeser dalam tatanan sosial, di masyarakat Bandung pada khususnya. Semakin jarang anak muda yang tahu kesenian Sunda, seperti longser misalnya. Gambaran sosialnya lebih kurang seperti itu. Padahal, menurut saya kebudayaan Sunda itu menarik. Saya tuh seniman yang lahir dan besar di Bandung, setidaknya harus tahu lah kebudayaan Sunda itu seperti apa. Yang terdekatnya, dimulai dari Bahasa Sunda itu dulu.

Jika dikerucutkan lebih spesifik ke budaya pop Sunda yang Amenk amati, ada tidak yang punya “spirit punk”, sebagaimana karya-karya Amenk sendiri yang lekat dengan image itu?

Sejauh yang saya amati, nggak sih. Mungkin, tentang mekanisme berkarya secara genre, mungkin ada perkembangan. Tapi, itu sendiri tidak bisa disebut "pemberontakan", karena kan punk sendiri tidak ada pattern yang establish, punk tuh harus seperti ini, kan nggak. Pop Sunda berkembang sebetulnya, tapi rasa berontaknya sepertinya tidak ada. Misalnya, menyoroti politik atau keadaan-keadaan sosial yang termajinalkan, itu saya tidak menemukannya sejauh ini.

Fenomena pop Sunda sendiri kesulitan untuk dimodernisasi, patternnya selalu seperti itu. Bahkan, jika harus dikatakan, proyek album pop Sunda saya ini mungkin tidak bisa dimasukan dalam pattern pop Sunda itu sendiri. Mungkin, konsep seperti yang saya buat ini tidak akan diakui juga sebagai bagian dari pop Sunda. Karena, saya merasa banyak yang menyalahi aturan dan tidak lazim dari cara pendekatan eksperimental saya terhadap kesenian pop Sunda itu.

Saya sendiri memberi pilihan lain dari pop Sunda itu terhadap publik, dan seperti riset secara tidak langsung. Karena dasarnya saya senang musik, hobi mengumpulkan kaset, sampai akhirnya saya bersinggungan dengan lagu pop Sunda itu sendiri, dan yang saya tangkap dan terjemahkan menurut versi saya ya seperti di album ini. Mungkin, ini akan jadi satu-satunya album pop Sunda yang punya spirit punk itu tadi. Karena, saya memberontak, hahaha...

Untuk cover albumnya sendiri, apa itu berbanding lurus dengan apa yang Amenk katakan “fenomena spesifik” itu tadi. Dan apakah ini jadi semacam sindirian atau satir dari Amenk terhadap fenomena itu?

H-3 sebelum rilis, saya baru mengerjakan cover itu. Jadi, tidak dikonsep sejak awal. Sempat terpikir, saya ingin telanjang di cover itu, biar kayak John Lennon. Tapi nggak jadi, karena nanti kasihan yang lihat. Tidak niat mau nyindir atau mau satir juga. Kebetulan saya baru beli baju Nirvana, dan kepikiran kalau foto pas sholat pakai baju Nirvana, lucu nggak ya. Ya hal-hal spontan seperti itu saja. Karena, memang konsepnya karya album ini kolaborasi, dari mulai lagu yang saya buat bareng Rangga Aditya Bintara A.K.A Maung, fanzine, yang saya buat bareng Ferry Firmansyah (terdapat dalam bundling album ini), displaying, yang perilisannya dipamerkan juga di Selasar Sunaryo. Ada banyak kontribusi orang lain juga, dan pada akhirnya karya ini jadi kaya akan perspektif

Komentar

Postingan Populer