Album Review : Fragmen Cerita Bernada dalam Harmoni Folk

Folk itu selayaknya pop, berupa kumpulan nada-nada sederhana yang mudah melekat di setiap orang yang mendengarnya. Secara teknisnya, folk menyajikan lagu yang mudah dimainkan dan enak untuk dinyanyikan, tanpa terbebani ekspektasi harus seperti apa musik yang akan dibawanya. Jika bicara dalam artian yang mengada-ada, folk adalah sebuah genre yang menelanjangi musik popular, membalut kain yang dipenuhi bordiran gimmick “kemewahan” belantika musik, dengan segala yang tertera padanya. Artiannya berbanding lurus dengan sebuah cerita yang dilagukan, dengan pemilihan lirik yang mudah dimengerti, sesederhana obrolan ringan dalam kereta menuju rumah. Senyum sapa hangat dengan seorang asing, yang menyimpan pengalaman seru untuk diceritakan.

Lebih kurang, seperti itulah yang ditangkap Adhitia Sofyan dalam lagu-lagunya, termasuk kumpulan lagu yang ada di mini album terbarunya, dengan tajuk 8 Tahun. Dia membukanya dengan lagu “Seniman”, sebuah lagu yang mengingatkan tentang hidup dan untuk apa hidup. Tentang sebuah pilihan akan cita-cita. Seniman terkadang menjadi anomali tersendiri, ketika seniman tidak menjadi pilihan yang popular dibanding profesi dokter atau arsitek. Image yang terbangun bertahun-tahun lamanya akan ketidakjelasan profesi seniman ini harusnya sudah usang dan dibuang dari tiap-tiap benak anak kecil, yang harusnya tidak terkekang dengan doktrin standar hidup yang dibentuk orang tuanya.

Adhitia Sofyan lewat lagunya seakan melawan arus dengan penegasan lirik “ku tak butuh matematika, ku tahu ku kan besar jadi seniman”. Kata matematika sendiri seakan penggambaran sebagai momok bagi anak kecil, dengan semua hitungan dan rumusnya, dan seniman sendiri adalah penggambaran dari kata bebas. Di mana perasaan dan daya khayal adalah sinergi yang mutlak dipunyai oleh seorang yang ingin jadi seniman. Lewat petikan gitarnya, Adhitia Sofyan sedang bernostalgia dengan cerita masa kecilnya yang punya ketertarikan lebih dengan musik, untuk kemudian merayakan kesunyian dengan secangkir kopi

Lagu berikutnya di track kedua mini album ini berjudul “Naik Kereta Saja”. Romantisme perjalanan dalam sebuah kereta dirasa punya tempat tersendiri yang melekat di hati dan benak Adhit. Kereta menawarkan banyak hal menarik baginya, ketika terhampar pemandangan menarik di balik kaca jendela kereta api yang ditumpanginya. Riuh renda suara mesin kereta yang dikomandoi masinis agar baik jalannya membawa lamunan Adhit akan sebuah pelarian, with longway to nowhere dengan orang terkasih yang duduk di sebelahnya. Menyisakan sedikit cerita kala ia menyampaikan perasaannya dengan orang tersebut, namun malah berujung merusak suasana. Sebuah cerita tragis yang berujung manis kala mengenang sebuah kebodohan di masa lalu. Karena setelahnya, hari-hari akan berjalan biasa saja dan baik-baik saja.

Kemudian, ada lagu “Dan Ternyata”, yang menariknya dikemas dengan lirik berbahasa Jawa. Dia mengambil resiko, karena tidak semua mengerti dengan apa yang Adhit sampaikan lewat bahasa Jawa tersebut. Tapi, apalah arti bahasa, ketika musik membalutnya dengan sebuah nuansa yang mengikat perasaan Adhit dan pendengarnya. Sampai kemudian, Adhitia Sofyan meneruskan perjalanan musikalnya dalam mini album ini lewat lagu berjudul “Sesuatu Di Jogja”.

Sebagaimana kereta, Jogja jadi sesuatu yang melekat di hati dan benak Adhit. Menyimpan banyak kenangan di kota yang berjuluk daerah istimewa ini. Jogja selalu bisa menuntun kaki Adhit untuk melangkahkan kakinya ke Jogja. Jakarta sudah terlalu ringkih dengan semua carut marut problematika di dalamnya, maka Jogja menjadi pilihan Adhit untuk beranjak kesana. Karena, menurutnya selalu ada sesuatu di Jogja. Entah karena kotanya, atau entah karena ada seorang menunggu di Jogja. Dalam versi Adhitia Sofyan, Jogja adalah nada-nada yang tertinggal ketika dia berada di Jakarta. Nada-nada yang harus ada untuk melengkapi harmonisasi nuansa syahdu dalam suara lembut Adhit lewat lagunya.

Adhit menutup mini album ini lewat lagu “8 Tahun”. Petikan gitar di intro lagu ini adalah penegasan musikalitas Adhitia Sofyan, ketika itu menjadi poin kuat sebagai fondasi kokoh musik folk yang ditawarkannya. Komposisi musik yang dibuat Adhit menjadi pelengkap imajinasinya tentang sebuah kota beserta langitnya. Gradasi biru yang terlukis sampai kemudian berganti jingga adalah siklus yang berputar di dua menit lima puluh dua detik Adhitia Sofyan bernyanyi, akan romansa daun dan ranting yang hilang warnanya.


Komentar

Postingan Populer